Inilah Kegemaranku


Namaku Amanda, aku lahir disebuah kota besar yang penuh dengan gedung tinggi, jalanan sibuk, dan gemerlap kehidupan. Namun, di antara hiruk-pikuk kota ini, aku menemukan dunia kecilku sendiri—menari. Setiap mendengarkan musik, tubuhku seakan bergerak sendiri mengikuti iramanya. 


Ketika umurku enam tahun, ibuku sering kali memutar lagu di televisi, dan tanpa aku sadari aku menari nari saat itu. Ibuku tertawa kecil melihatku menari nari saat itu karena ia berpikir itu hanyalah tingkah anak kecil pada dasarnya. Namun aku tidak perduli, aku terus menari karena aku merasa sangat bahagia setiap saat bisa menari.


Aku mulai menseriuskan kegemaraanku saat aku berusia enam tahun, mulai dari situ aku menemukan dunia kecilku, aku merasa bahagia saat aku menari nari. Aku giat latihan ditempat nariku—sanggar kala itu. Dengan tubuh kecilku dan gerakan tubuh yang tidak begitu lentur aku terus menari dengan penuh semangat.


Di sekolah, setiap ada pertunjukan pentas seni aku selalu ingin ikut serta dalam acara itu. Aku selalu mendaftar untuk tampil menari di acara sekolah saat aku berusia tujuh tahun. Itu pertama kalinya aku berdiri diatas panggung, di depan penonton, mengenakan kostum nari, dengan lampu sorot yang menerangi gerakanku. Aku merasakan sesuatu yang luar biasa; Kebebasan, kebahagiaan, dan semangat yang sulit dijelaskan.


Namun sejak saat itu, aku mulai menghadapi tantangan.


Meskipun lahir di kota besar yang penuh dengan kesempatan, tidak semua orang mendukung kegemaranku. Beberapa teman di sekolah mulai mengejekku.


“Kenapa sih ikutan nari kayak gitu? Kayak keren aja!” Kata salah satu temanku.


“Gak berguna tau ikutan nari nari kayak gitu!” Kata temanku yang lainnya.


Awalnya, aku merasa sakit hati. Aku mulai bertanya-tanya pada diriku sendiri, apakah yang aku lakukan ini benar? Namun, setiap kali aku mencoba berhenti, ada sesuatu yang hilang dalam diriku. Aku tidak bisa membohongi diriku sendiri—menari adalah bagian dari hidupku.


Setelah kejadian itu, aku menjadi semakin rajin berlatih di sanggar maupun sendiri di rumah. Aku menonton video-video tarian di media sosial, mencoba meniru gerakan mereka. Aku menghabiskan berjam-jam di depan cermin. Disaat anak-anak lainnya menghabiskan waktu mereka dengan bermain dengan temannya namun aku menghabiskan waktuku untuk berlatih.


Ketika aku berumur delapan tahun, aku memberanikan diri untuk mengikuti kompetisi tari pertamaku. Dengan dukungan dari kedua orangtuaku, aku sangat bersemangat untuk mengikuti kompetisi ini. Aku berlatih setiap harinya tanpa henti, mengulang-ulang gerakan hingga kakiku sakit. Namun saat aku lelah, aku terus membayangkan betapa indahnya esok ketika aku mengenakan kostum tari itu, sehingga aku akan kembali bersemangat untuk latihan.


Saat hari perlombaan tiba, aku merasa sangat gugup. Karena aku melihat banyak peserta lain yang jauh lebih berpengalaman, dengan kostum yang mewah dan teknik yang lebih baik. Tetapi disela-sela kegugupanku, aku terus berpikir bahwa aku tidak boleh menyerah, aku harus semangat. Aku menari dengan sepenuh hati, menyalurkan seluruh perasaan dan kerja kerasku dalam setiap gerakan.


Sayangnya aku tidak menang. Aku bahkan tidak masuk final. Aku pulang dengan rasa kecewa. Namun, di tengah rasa kekecewaan itu aku menyadari sesuatu—aku kalah bukan karena aku tidak berbakat, tetapi karena aku harus banyak belajar. 


Sejak saat itu, aku mulai menekuni dan serius akan hal menari ini. Aku meminta izin kepada kedua orangtua ku untuk mengizinkan ku menekuni kegemaranku kali ini. Dengan senang hati mereka mengizinkanku karena prinsip orangtuaku adalah ikuti saja apa kata hatimu, kami tinggal meng-support nya. 


Aku mulai serius lagi dengan sanggar ku, yang tadinya hanya latihan seminggu sekali namun sekarang bisa tiga kali seminggu. Di sanggar, aku bertemu dengan orang-orang yang sama-sama mencintai tari. Aku belajar dari guru-guru yang mengajarkanku teknik, ekspresi, dan disiplin. Aku mulai memahami bahwa menari bukan hanya gerakan, tetapi juga tentang bagaimana kita menyampaikan emosi melalui tubuh kita.


Ketika aku memasuki usia remaja, tantangan semakin berat. Tekanan akademik semakin tinggi, dan aku mulai merasa kewalahan dalam membagi waktu antara sekolah dan latihan tari. Aku juga mulai ragu dengan pilihanku, apakah ini benar-benar jalan yang harus aku tempuh? Apakah ini benar-benar pilihan yang tepat?


Aku seringkali berpikiran untuk berhenti. Namun, setiap kali aku mencoba untuk keluar dari dunia tari, aku merasa kehilangan arah. Lalu aku menyadari bahwa menari bukan hanyalah kegemaranku, tetapi bagian dari jiwaku. 


Aku kembali berlatih lebih keras. Aku mulai mengikuti banyak kompetisi, dan meskipun sering gagal, itu bukan cara kita untuk berhenti. Disisi lain akupun juga sering meraih kemenangan. Aku memenangkan kompetisi tari pertamaku saat aku berusia sebelas tahun. Itu bukanlah kompetisi yang besar, tetapi kemenangan kecil itu memberiku kepercayaan diri bahwa aku berada di jalan yang benar. 


Di sela-sela itu, akupun meluangkan waktu untuk meraih prestasi akademik ku, aku terus belajar dan belajar dengan senang hati. Ketika melihat peringkatku yang tidak pernah dibawah 10 besar saja aku sudah bersyukur, aku sudah senang.


Namun, perjuangan belum selesai. Ada saat-saatnya aku merasa terpuruk, dimana aku merasa tidak cukup baik, dan dimana aku berpikir untuk menyerah lagi dan lagi. Tetapi aku selalu mengingat alasan mengapa aku memulai ini semua.


Sekarang, aku masih terus berjuang. Aku tahu jalan ini tidak mudah, ketika kita sudah memilih jalan yang kita pilih disitulah kita harus menerima baik dan buruknya jalan itu. Aku juga tahu bahwa aku tidak akan pernah bisa benar-benar meninggalkan dunia tari. Aku ingin membuktikan bahwa tari bukan hanya sekedar hobi, tetapi juga bisa menjadi jalan hidup.


Walaupun banyak orang yang berkata, “Halah dari kecil jadi penari, besarnya kerja apa kamu?!” Ah! Diamkan saja orang yang sering berkata seperti itu. Ikutin saja jalan yang sudah kita ambil, jangan dengarkan kata orang. Disini kita yang menjalankan hidup kita sendiri, bukan mereka. Jadi, tidak usah dipikirkan dengan perkataan orang.


Aku ingin menunjukkan bahwa kerja keras, dedikasi, dan keyakinan bisa mengakahkan segala rintangan. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tetapi suatu hal yang pasti—selama aku masih bisa bergerak, aku akan terus menari.

Comments