Lima tahun lalu, Dimas pergi. Bukan karena tak cinta, tapi karena waktu dan keadaan tak berpihak. Mereka baru saja lulus kuliah, sama-sama memulai karier dari nol. Dimas mendapat beasiswa ke luar negeri, sementara Lila harus tinggal untuk merawat ibunya yang sakit. Mereka berjanji akan saling menunggu, tapi janji itu perlahan memudar seperti tinta yang pudar oleh waktu.
Dimas pernah mengirim surat ini di tahun ketiga kepergiannya. Saat itu, Lila masih marah—pada waktu, pada jarak, pada kenyataan bahwa cinta tidak selalu cukup. Ia menyimpannya di dalam laci, menghindari setiap dorongan untuk membukanya.
Hari ini, entah mengapa, ia merasa waktunya sudah tepat.
Dengan jari gemetar, ia merobek segel cokelat yang sudah menguning. Tulisan tangan Dimas masih sama, miring sedikit ke kanan, dengan huruf “L” besar yang selalu ia buat dengan lengkungan indah.
“Lila,
Jika kau membaca ini, berarti aku tidak lagi ada di sisimu—secara fisik. Tapi ketahuilah, tidak ada hari yang aku lewati tanpa memikirkanmu. Cinta yang aku bawa pergi tidak pernah berkurang, hanya berubah bentuk.
Aku ingin kau bahagia, bahkan jika bukan denganku. Jika suatu hari kau temukan seseorang yang membuatmu tertawa seperti aku dulu, peluk dia erat-erat. Jangan takut untuk jatuh cinta lagi. Aku akan bahagia, di manapun aku berada.”
Air mata Lila jatuh begitu saja. Bukan karena kesedihan, tapi karena perasaan lega yang membuncah setelah bertahun-tahun ia pendam. Surat itu bukan hanya perpisahan, tapi restu. Dimas tahu bahwa cinta sejati bukan hanya tentang memiliki, tapi juga tentang melepaskan dengan ikhlas.
“Maaf aku baru membacanya sekarang,” bisiknya pelan.
Seseorang duduk di bangku yang sama, beberapa jarak darinya. Seorang pria dengan senyum ramah dan mata yang terasa hangat. Mereka sempat berpapasan beberapa kali di perpustakaan kota. Lila tersenyum kecil, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa siap untuk membuka lembaran baru.
Senja turun perlahan, menyelimuti taman dengan cahaya keemasan. Di bawah pohon flamboyan itu, cerita lama ditutup, dan cerita baru perlahan mulai ditulis.
2 Tahun kemudian
“Kau sering ke sini?” tanyanya.
“Dulu, ya. Sekarang… hanya saat butuh mengingat.” Lila menatap langit yang mulai berwarna jingga. “Dan mengikhlaskan.”
Arga tidak bertanya lebih jauh. Ia hanya mengangguk, seakan mengerti bahwa ada luka yang tak perlu dikorek untuk bisa saling memahami.
Beberapa minggu kemudian, mereka kembali bertemu—di taman yang sama, di bangku yang sama. Lila membawa novel, Arga membawa sketsa. Diam-diam mereka mulai berbagi: cerita, tawa, dan kadang-kadang, keheningan yang nyaman.
Waktu tak lagi terasa seberat dulu. Dalam kebersamaan mereka yang sederhana, Lila menemukan sesuatu yang ia kira telah hilang: kemauan untuk mencintai lagi.
Suatu sore, saat daun-daun flamboyan berguguran seperti hujan merah muda, Arga menyerahkan sebuah buku sketsa padanya. Di dalamnya, Lila melihat dirinya digambar dalam berbagai ekspresi: tersenyum, termenung, bahkan menangis saat membaca surat Dimas. Di halaman terakhir, ada gambar bangku taman yang kosong, dengan kalimat:
“Bolehkah aku duduk bersamamu—untuk waktu yang lama?”
Lila tersenyum, matanya berkaca-kaca.
“Dulu aku pernah mencintai seseorang yang sangat aku jaga dalam hatiku. Tapi sekarang, aku rasa… aku siap membuka ruang baru.”
Arga tidak menjawab. Ia hanya menggenggam tangan Lila perlahan, dan di saat itu, tidak ada kata yang lebih tepat daripada diam.
Di bawah langit senja dan pohon flamboyan yang setia menjadi saksi, cinta tak lagi terasa seperti kehilangan. Tapi seperti awal yang manis—yang tumbuh dari luka, dan mekar dengan harapan.
Comments
Post a Comment